Minggu, 24 Januari 2016

Segregasi #9

Saya tidak suka perayaan-perayaan. Saya lebih suka memilih bersyukur dengan bentuk yang lain. Termasuk pada hari ulang tahun saya. Belum pernah sekalipun saya merayakannya. Paling banter saya begadang dan itu pun karena almarhum kakak saya yang mengajak. Hari ulang tahun saya pada tahun ini jatuh tepat  satu minggu yang lalu. Saya merencanakan untuk begadang sampai pagi dengan Alma. Kini Alma berada di Jakarta. Di Jakarta dia bekerja di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dia berjanji akan tiba di Solo demi saya dan menyuruh saya untuk menjemputnya di stasiun. Tak terasa sudah 4 bulan lebih kami berpisah. Pertemuan kami yang terakhir terjadi di stasiun Tugu Yogya, saat mengantarnya untuk pergi ke Jakarta pertama kalinya.
Pukul 9 malam saya sudah berada di stasiun Balapan Solo. Kata Alma kereta yang dia naiki akan tiba sekitar pukul 10 malam. Tapi sampai pukul 12 belum juga nongol batang hidungnya. Selama selang 2 jam itu beberapa kali saya telpon dan kirim pesan singkat ke nomor Alma namun telpon genggamnya tidak aktif. Setelah itu karena capek saya tertidur di kursi tunggu stasiun. Saat itulah saya mengalami mimpi yang aneh, tepat pada hari saya berumur 32 tahun. Kemudian saya terbangun, dan saya berumur 23 tahun. Lega jadinya. Dan kemudian saya terbangun sungguhan, dan saya berumur 32 tahun. Saya merasa betul-betul aneh dengan mimpi ini. Karena pertama, kalau yang mengalami mimpi ini perempuan, mungkin adalah sesuatu yang wajar. Kedua, saya tidak pernah takut bertambah tua. Ketika bertambah tua saya merasa hidup terasa lebih dekat. Saya merasa sepertinya saya bisa menghargai lebih banyak hal. Termasuk menghargai keputusan Alma yang tidak menepati janjinya, walaupun saya belum tahu alasannya. Saya berpikir positif bahwa Alma sebagai pegawai pemerintah tentu mempunyai ikatan-ikatan tertentu. Namun sebetulnya saya sangat mengharapkan Alma datang dengan memberikan kejutan atas ulang tahun saya. Meskipun saya tidak suka perayaan dan tidak pernah merayakan hari ulang tahun saya.
Keesokan harinya saya membuka telepon genggam saya, Alma belum membalas pesan singkat saya. Selain itu juga tidak ada satupun ucapan selamat baik sms ataupun di sosial media yang saya punyai seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski tidak membuat saya sedih tapi saya merasa agak aneh juga dengan hal ini. Sampai kemudian telepon saya berdering, Toni salah satu teman baik saya menelepon.
“Yud, selamat bertambah tua ya! Semoga sehat selalu! Jangan lupa, jangan hanya asyik berpikir tentang dirimu sendiri. Jangan lupa berpikir tentang orangtuamu! Alma juga!”
“Ok ok siap bos. Makasih Ton. Tapi Alma tidak jadi datang kok Ton”
“Lho. Lha kenapa?”
“Saya juga belum tahu Ton”
“Ya sudahlah Yud. Jangan dipikirkan sekarang! Mending sekarang kita ketemuan saja yuk. Aku bawa mobil lho ini. Katanya kamu pengin belajar setir mobil. Habis itu kita nongkrong sambil ngopi. Gimana? Kalau mau aku tunggu di warung kopi tempat biasa kita ketemu.”
“ Ok Ton. Siap. Ayo berangkat”
Kurang dari setengah jam kemudian saya sampai . Toni sudah menunggu saya, dia parkir agak jauh sekitar 50 meter dari warung, mungkin memilih tempat yang lebih teduh. Dia terlihat nangkring di kap mobilnya. Saya parkir motor saya di depan warung. Setelah itu saya menghampirinya. Melihat saya datang dia meloncat dari mobilnya lalu berjalan menyambut saya. Begitu kami saling berhadapan dia menyalami kemudian memeluk saya.
“Yud, aku mau ke warung pesen kopi dulu. Kamu ke mobil sana duluan deh”
“Ikut Ton, ngopi dulu saja ok juga sepertinya”
“Waduh. Jangan Yud! Ehm, sebetulnya aku nggak hanya mau pesen kopi. Hehehe”
“Kalau cengengas cengenges begitu pasti urusan cewek ini. Cewek mana Ton?”
“Hehehe. Itu anaknya pemilik warung. Cakep banget Yud. Sudah ah, kamu ke mobil sana dulu saja. Bentar lagi aku susul”
Lalu Toni berjalan menuju warung tanpa menghiraukan saya lagi. Mau tidak mau akhirnya saya berjalan menuju mobil. Begitu sampai mobil saya membuka pintu depan mobil sebelah kanan. Saya kaget karena di jok sebelah kiri duduk seorang perempuan. Dalam hati saya berkata sungguh gila si Toni, sudah bawa perempuan masih sempat-sempatnya mengejar cewek lain. Lalu saya duduk, saya arahkan pandangan saya pada perempuan di samping kiri saya namun saya tidak bisa melihat wajahnya karena sejak saya membuka pintu dia menoleh ke jendela. Baru saja saya mau menyapanya dia sudah menoleh ke arah saya lalu berkata;
“Selamat ulang tahun ya mas ...”
Astaga, ternyata Alma. Saya tidak menjawab lalu keluar dari mobil. Saya arahkan pandangan saya ke warung. Begitu tahu saya mencarinya Toni lalu berdiri, menempelkan kedua telapak tangannya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Setelah itu dia tertawa lebar.
Saya berdiri bersandar pada mobil, kemudian mengeluarkan rokok dan menyulutnya. Hampir habis rokok saya Alma masih tetap di dalam mobil tidak keluar menyusul saya. Saya mengeluarkan rokok lagi, ketika saya akan menyulutnya tiba-tiba mesin mobil berbunyi. Saya melangkah beberapa langkah ke depan lalu berbalik badan. Mobil berjalan mundur perlahan dan jendela mobil terbuka,
“Katanya mas mau belajar setir mobil, ayo jadi nggak?”
Saya tidak menjawab pertanyaan Alma tapi langsung berlari masuk mobil lewat pintu sebelah kiri. Setelah memasang seatbelt saya berkata,
“Saya sudah bisa nyetir mobil Ma. Almarhum kakak saya yang mengajari. Dan rupanya Toni belum tahu itu. Pertama belajar memang sama si Toni. Tapi Cuma sekali dan sebentar, tidak sampai setengah jam. Dia kalau mengajari suka marah-marah tidak jelas. Ini tadi saya mau kerjai dia, saya kangen sama marah-marahnya. Nah, sekarang yang penting kado! Mana! Katanya mau ngasih kado?”.
Alma tersenyum lalu tertawa kecil,
“Saya punya tiga kado untuk mas”.
Mobil melesat dengan kencang dan gesit. Rupanya cukup handal juga Alma dalam menyetir mobil. Tidak lama kemudian Alma melambatkan laju mobil, menepi, lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah tua bergaya belanda. Di beranda rumah tersebut duduk perempuan tua sedang membaca koran.
“Ibu itu kado pertama saya buat mas. Maksud saya karakternya. Ibu itu selalu merasa de javu. Setiap kejadian yang dialaminya dia selalu merasa bahwa itu sudah pernah terjadi sebelumnya. Ketika diajak ngobrol dia terlihat baik-baik saja, tetap nyambung mas. Tapi kemudian dia akan berkata “bukankah aku sudah mengatakan itu? Bukankah kita sudah mengobrolkan hal ini kemarin?”. Selalu seperti itu sepanjang waktu mas. Setiap hal yang dia lakukan, sarapan, membaca koran, menonton film, dia selalu yakin kalau sudah mengalami hal itu.”
Saya menyimak dan cukup tertegun dengan uraian Alma. Lalu saya bertanya,
“Apakah ada yang memang seperti itu?”
“Ya mas. Itu disebut persistent dejavu”
“Lalu dua kado lagi mana Ma?”
“Dua kado lagi ada di warung kopi tempat biasa bertemu mas dan mas toni tadi”
“Jangan bilang bahwa Toni dan anak gadis pemilik warung mempunyai karakter dengan abnormalitas pikiran lho!”
Alma tersenyum lalu menyahut,
“Ya tidak lah mas. Bukan mereka. Melainkan justru bapak dan ibu pemilik warung kopi itu”
“Astaga. O ya? Bagaimana dengan mereka?”
“Bapak pemilik warung itu tidak bisa mengenali istrinya selama 20 tahun. Bahkan ketika bercermin dia merasa tidak mengenali laki-laki yang dilihatnya itu. Sedangkan ibu pemilik warung adalah kebalikannya. Dia mempunyai ingatan yang sangat kuat tentang wajah, wajah setiap orang yang pernah dia jumpai. Dia tinggal di daerah yang padat penduduk dan dia juga seorang guru SMA, sehingga setiap harinya dia bertemu dengan ratusan orang yang berbeda, tapi baginya dia seperti tinggal di daerah terpencil dengan penghuni puluhan orang saja. Misalnya ada sopir taksi lewat depan warungnya dan sekilas dia melihat maka dia segera berkata; “Oh sopir taksi itu yang mengantarku ke supermarket pada lebaran tiga tahun yang lalu”. Misalnya lagi ada seorang perempuan tua sedang berjalan di jalan tiba-tiba dia berkata; “Oh dia duduk dua kursi bersebelahan denganku di kereta prameks dua tahun yang lalu. Jadi setiap orang yang dijumpainya, dia selalu merasa intim dan terhubung dengan mereka”.
Saya merasa senang sekali. Dulu saya memang pernah minta pada Alma karakter-karakter orang dengan semua abnormalitas pikiran-pikiran mereka untuk saya bikin menjadi tokoh dalam novel saya. Ini mengobati kekecewaan saya pada Alma yang tidak menepati janjinya datang sesuai kesepakatan kami. Dan ini memang “sistem” yang kami pakai dalam berhubungan. Kami menghindari pertengkaran yang tidak rasional. Apa yang sedang dilakukan Alma pada saya saat ini dengan memberi kado istimewa, kami menyebutnya “negosiasi”.
“Masih berapa jam waktu tersisa untuk kita Ma? Jam berapa kamu harus balik lagi ke Jakarta?”
“Saya ambil penerbangan pukul 20 mas. Dari sekarang masih sekitar 5 jam.”
Saya mengajak alma memancing di waduk cengklik. Kebetulan waduk ini dekat dengan bandara. Kami kemudian mengembalikan mobil Toni terlebih dahulu. Sampai di waduk cengklik kami menyewa gethek. Gethek adalah semacam rakit kecil yang terbuat dari bambu. Gethek hanya bisa digunakan manakala ketinggian (volume) air sungai cukup untuk dilayari. Selama berjam-jam memancing kami hanya berpelukan sambil memegang 1 kail pancing bersama, rasa rindu menjadi bahan bakarnya.
“Maafkan saya ya mas”.
“Saya sudah memaafkan kamu sejak masuk mobil yang kedua tadi Ma. Terima kasih untuk kadonya ya. Itu kado terindah yang pernah saya terima”.
Kami semakin erat berpelukan di bawah kelembutan mentari senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar