Dua pertemuan saya dengan Alma saya lihat wajahnya tidak pernah dirias, namun terlihat segar. Apalagi pagi ini, gurat wajahnya serasi dengan pantulan sinar matahari. Sorot matanya agak kebiruan cenderung sendu. Bibirnya berwarna merah jambu alami. Rambutnya panjang sedikit ikal, kali ini dia tidak mengikat rambutnya sehingga rambut depannya tergerai indah di atas dahinya. Alisnya melengkung seperti bulan sabit. Namun yang membuat dia unik menurut saya adalah gesturnya. Gesturnya sering kali tegas namun dalam beberapa momen terasa lembut. Cara berinteraksi dengan orang, baik yang sudah dikenal atau belum saya simpulkan dia orang yang terbuka. Tapi dia bukan orang yang mudah mengumbar rahasia. Ah, banyak hal yang melebihi idealisasi saya tentang wanita ada padanya, apalagi jaman sekarang ini.
Kira-kira 30 meter sudah kami berlari saya membuka obrolan,
"Ma", ah intonasi saya terasa seperti memanggil mama, dia tersenyum, saya juga tersenyum.
"Sambil cerita dong", lanjut saya.
"Cerita apa ya?", "Apa saja lah, rutinitas atau mungkin keluarga di rumah?" timpal saya.
"Ayah dan ibu saya orang yang pragmatis mas. Tapi jaman sekarang siapa ya yang tidak begitu?"
"Ya masih ada lah..." saya memotong tapi lalu dia berkata lagi "Ya, tapi maksud saya bapak dan ibu tidak pernah berbicara kemungkinan saya jatuh cinta, menikah, memiliki anak. Mereka hanya ingin saya memikirkan masa depan saya". Saya tertawa kecil "O ya?".
"Iya mas. Satu kali saya katakan pada ayah; saya ingin jadi penulis, dan dia berkata; jangan jadi penyair atau sastrawan, wartawan bolehlah. Lalu saya katakan saya ingin berbagi ilmu dengan anak-anak di pedalaman kalimantan atau papua, dia menjawab; jangan cuma jadi guru seperti itu, gak ada hasilnya, jadi dosen bolehlah syukur jadi mentri pendidikan sekalian. Lain waktu lagi saya katakan saya ingin jadi aktris, dia menjawab; jangan jadi penyanyi, penari, atau pemain film, jadi penyiar tv saja. Jadinya seperti konversi konstan dari ambisi untuk menghasilkan uang melalui pekerjaan".
Saya tertawa lagi mendengar ceritanya. "Kalau keluarga mas gimana?" dia balik bertanya.
"Orang tua saya memberi kebebasan pada saya sejak kecil. Sangat percaya apapun yang ingin saya lakukan. Meski kadang justru hal itu yang menghambat saya".
"Saya punya ide mas. Supaya bisa lebih saling mengenal bagaimana jika kita lakukan tanya jawab bergantian tapi harus dijawab jujur 100% dan boleh bertanya soal apapun?"
"Ok, siapa takut!" saya langsung menyetujui usulannya.
"Ok, saya dulu yang bertanya mas. Boleh tahu perasaan hati pertama mas gimana?"
"Ehm, ok. Namanya Sri Widharti", "Sri Widharti mas?", "Iya", kami sama-sama tertawa.
"Panggilannya Wiwid. Dia primadona SMA saya waktu itu. Dia tidak hanya cantik, tapi juga manis. Hendro, teman sebangku saya naksir berat padanya. Segala teknik menaklukkan cewek dia terapkan, tapi tidak berhasil. Hingga suatu saat kami dipertemukan lewat pembina OSIS untuk membantunya melakukan pendataan siswa. Wiwid sekretaris OSIS, sedangkan ketua OSIS saat itu ke luar kota mengikuti lomba. Ternyata Kepala Sekolah yang memberi instruksi supaya saya yang menggantikan ketua OSIS. Saat SMA saya bandel sekali, mungkin itu cara Kepala Sekolah untuk merehabilitasi saya. Sejak itu kami sering bersama. Dua minggu kemudian kami resmi jadian".
"Kok berhenti. Trus gimana mas?"
"Sudah. Gitu saja"
"Berarti sampai sekarang masih jadian?"
"Masih. Tapi sejak lulus SMA sampai sekarang tidak pernah bertemu lagi. Dulu saya sempat ke rumahnya, sempat juga saya cari di kota dimana dia kuliah tapi tidak ketemu".
"Wah, menarik mas. Tapi kalau saya jadi dia saya pasti akan menemui mas dulu untuk membicarakannya" lalu dia berhenti berlari, saya ikut berhenti lalu kami berjalan pelan.
"Sayangnya dia bukan kamu ya? Ok ma, sekarang saya yang gantian bertanya. Kamu pernah jatuh cinta?" tanya saya. "Ya. Sekarang pertanyaan kedua dari saya adalah..."
"Tunggu, tunggu ma. Jadi boleh jawab cuma satu kata saja?" protes saya. "Ya boleh mas. Yang penting kan jawabnya 100% jujur" sanggahnya.
"Gak bisa. Tadi saya kan jawab dengan terperinci. Wah, gak adil dong!" protes saya lagi.
"Buat saya perasaan hati sama jatuh cinta itu berbeda mas. Jatuh cinta itu lebih rumit. Saya gak bisa menyimpulkan apa mas juga jatuh cinta ketika punya perasaan hati pada Wiwid".
Saya berhenti berjalan, dia juga berhenti. Saya pandang matanya lalu berkata lagi,
"Ok. Saya paham. Saya ganti pertanyaan saja. Sekarang ini kamu sudah punya pacar atau belum?
"Astaga! Saya lupa mas! Pacar saya masih di kamar mandi kost saya. Tadi sebelum berangkat ke sini saya kunci kamar mandinya dari luar", setelah berucap itu dia berlari lagi.
Saya melongo. Saya mengumpat dalam hati, entah berapa kali. Saya mematung sampai saya lihat dia berhenti, membalikkan badan lalu tertawa keras sekali,
"Hahahaha, saya cuma bercanda mas. Jangan kaya kambing congek gitu ah! Ayo lari lagi!"
Saya marah tapi juga lega dan senang. Saya berlari mengejarnya, setelah sampai di depannya saya tekan dahinya dengan jari telunjuk tangan kanan saya. Lalu kami sama-sama tertawa keras sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar