Kamis, 04 Desember 2014

Segregasi #6

Sore itu saya dan Alma sedang nonton satu film bagus dari Perancis berjudul Les Choristes. Berkisah perjuangan seorang guru, akhirnya dia berhasil menggunakan seni (musik) sebagai media pendidikan. Cukup mengharukan, begitu selesai mata saya berkaca-kaca, saya mengalami katarsis.
"Sudah mas, gak usah lebay terharunya! Lapar nih, makan yuk".
"Makan sega liwet gimana?"
"Mau banget lah, orang sega liwet itu salah satu favorit saya".
"Kok bisa jadi salah satu favorit?"
"Ayo berangkat dulu saja mas. Ceritanya sambil jalan".
Kemudian kami boncengan naik motor menuju warung sega liwet,
“Saya suka makan dengan nasi pincuk dan sendok suru mas. Pincuk itu sendiri sebenarnya simbol kalangan bawah karena dulu tidak kenal piring. Tapi kemudian cara makan seperti itu malah disukai. Jadi sega liwet itu sajian kuliner yang merubuhkan strata sosial, menyamaratakan status orang kaya dan miskin kan mas". Saya mengangguk-angguk setuju.
Selesai makan saya mengajak Alma untuk jalan-jalan dulu, juga karena saya pengen ngomong sesuatu. Dia menurut saja meski awalnya kulihat matanya ada keraguan. Saya memacu motor menuju Pasar Windujenar, dulu bernama Pasar Triwindu. Menurut saya pasar ini salah satu pasar terbaik di Indonesia. Begitu tiba kami duduk di kursi dimana di tengahnya berdiri tiang lampu, di depan patung lelaki berkostum tradisi jawa. Situasi saat itu cukup sepi.
"Kok tadi kamu agak ragu kelihatannya saya ajak kemari ma?".
"Sebetulnya saya ada janji ketemu sama sekar mas. Kami tergabung dalam satu penelitian yang dibiayai kampus. Selain itu, dia itu salah satu sohib saya. Biasanya begitu kelar diskusi kami saling curhat mas. Sejak kenal sama mas, saya ceritakan soal mas padanya. Saya bilang hanya ada satu kemungkinan kenapa saya lupa, telat, atau gak bisa datang untuk ketemu, ya berarti lagi sama mas. Mungkin sebentar lagi dia telpon. Lagipula saya pengen ngomong sesuatu juga pada mas. Tapi mas saja dulu lah mau ngomongin apa?".
"Saya juga ada janji ketemu sama teman-teman. Sama juga, sebentar lagi pasti mereka akan menelpon saya ....."
Belum selesai saya ngomong hp Alma berdering. Dia tidak menyingkir tapi tetap duduk di samping saya. Jadi saya bisa mendengar dia ngomong apa.
"Halo. Sekar. Maaf ya. Iya, tadi setelah makan dia mengajak jalan-jalan dan mau ngomong sesuatu. Awalnya saya pura-pura ragu ......" Saya menoleh pada Alma, saya mengernyitkan dahi.
".... tapi lihat mukanya gak bisa saya menolak. Melas banget, tapi itu yang justru meyakinkan saya. Saya menangkap kejujuran dan keikhlasan di muka melasnya" mendengar ini mata saya berkaca-kaca, tapi segera saya pura-pura tak mendengar.
".... saat itulah saya merasa sepertinya saya jatuh cinta padanya .... Hei Sekar, kok ciye sih? Jangan ketawain dong. Apa? Saya seperti remaja masa kini? Betul juga sih ...." Saya senyum-senyum sendiri.
".... Iya, dia berhasil menjebak saya dalam hatinya. Ehm, dia agak tinggi, sedikit canggung, dan rambutnya berminyak tapi saya menyukainya. Saya sepertinya .... merasa matanya sering memandang saya ketika saya berpaling ..... seperti malam berlalu, saya mulai menyukainya semakin dalam dan dalam .... Tapi saya khawatir dia takut pada saya. Saya ceritakan padanya tulisan saya yang berisi rencana membunuh si Anton mantan pacar saya. Saya berharap dia tidak merasa seperti itu pada saya, karena satu-satunya orang yang benar-benar bisa saya sakiti adalah diri saya sendiri .... Halo, iya? Ehm, belum. Secara verbal dia belum menyatakannya. Ok. Kita ketemu besok saja ya".
"Ma, saya tidak takut padamu. Saya tidak merasa seperti yang kamu khawatirkan itu. Dan .... "
Hp saya berdering, yang telpon salah satu teman saya yang menunggu kedatangan saya,
"Halo. Iya ini saya sedang bersama dia. Gimana? Oh, Belum. Yang pertama karena dia super pintar, penuh semangat, dan cantik ...." Saya lirik Alma, dia tersenyum lalu menunduk.
".... Saya minder bro. Saya merasa semua yang saya katakan padanya terdengar bodoh. Ya betul. Yang kedua itu. Situasi pertemuan pertama kami memang bersifat kebetulan banget. Bisanya cuma di film atau novel saja itu. Apa? Ya sekarang harus yakin lah. Iya, iya. Nanti saya ke situ, jangan pada bubar dulu. Ok bro, nuwun".
Saya masukkan hp saya ke kantong celana kemudian dia berkata,
"Mas, saya tidak pernah menilaimu. Bahkan saya merasa mas lebih pintar dan berwawasan dari saya. Lalu soal pertemuan pertama kita, itu bukan kebetulan! Tapi memang saya sengaja. Beberapa menit sebelum membeli es cincau saya sudah memperhatikan mas".
"Ma, saya benar-benar tergila-gila padamu. Saya mencintai kamu".
Dia tersenyum, lalu
"Saya juga mas".
"Ma, saya juga mau ngomong bahwa bapak dan ibu saya pengen ketemu sama kamu. Gimana kalau akhir pekan ini?"
"Iya baiklah mas. Yang mau saya omongkan sama juga. Bapak dan ibu pengen ketemu mas. Berarti akhir pekan depannya lagi?"
"Sekarangpun saya siap Ma!"
"Halah! Memang mas gak takut dihajar teman-teman mas yang sudah sejak tadi menunggu mas! Masih ada sekar juga yang jago taekwondo lho!"
"Oh iya. hahahah".
Lalu kami tertawa keras bersama.
Patung lelaki dengan kostum tradisi jawa di belakang kami menjadi saksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar