Sore itu saya dan Alma sedang nonton satu film bagus dari Perancis
berjudul Les Choristes. Berkisah perjuangan seorang guru, akhirnya dia
berhasil menggunakan seni (musik) sebagai media pendidikan. Cukup
mengharukan, begitu selesai mata saya berkaca-kaca, saya mengalami
katarsis.
"Sudah mas, gak usah lebay terharunya! Lapar nih, makan yuk".
"Makan sega liwet gimana?"
"Mau banget lah, orang sega liwet itu salah satu favorit saya".
"Kok bisa jadi salah satu favorit?"
"Ayo berangkat dulu saja mas. Ceritanya sambil jalan".
Kemudian kami boncengan naik motor menuju warung sega liwet,
“Saya suka makan dengan nasi pincuk dan sendok suru mas. Pincuk itu
sendiri sebenarnya simbol kalangan bawah karena dulu tidak kenal piring.
Tapi kemudian cara makan seperti itu malah disukai. Jadi sega liwet itu
sajian kuliner yang merubuhkan strata sosial, menyamaratakan status
orang kaya dan miskin kan mas". Saya mengangguk-angguk setuju.
Selesai makan saya mengajak Alma untuk jalan-jalan dulu, juga karena
saya pengen ngomong sesuatu. Dia menurut saja meski awalnya kulihat
matanya ada keraguan. Saya memacu motor menuju Pasar Windujenar, dulu
bernama Pasar Triwindu. Menurut saya pasar ini salah satu pasar terbaik
di Indonesia. Begitu tiba kami duduk di kursi dimana di tengahnya
berdiri tiang lampu, di depan patung lelaki berkostum tradisi jawa.
Situasi saat itu cukup sepi.
"Kok tadi kamu agak ragu kelihatannya saya ajak kemari ma?".
"Sebetulnya saya ada janji ketemu sama sekar mas. Kami tergabung dalam
satu penelitian yang dibiayai kampus. Selain itu, dia itu salah satu
sohib saya. Biasanya begitu kelar diskusi kami saling curhat mas.
Sejak kenal sama mas, saya ceritakan soal mas padanya. Saya bilang hanya
ada satu kemungkinan kenapa saya lupa, telat, atau gak bisa datang untuk
ketemu, ya berarti lagi sama mas. Mungkin sebentar lagi dia telpon.
Lagipula saya pengen ngomong sesuatu juga pada mas. Tapi mas saja dulu
lah mau ngomongin apa?".
"Saya juga ada janji ketemu sama teman-teman. Sama juga, sebentar lagi pasti mereka akan menelpon saya ....."
Belum selesai saya ngomong hp Alma berdering. Dia tidak menyingkir tapi
tetap duduk di samping saya. Jadi saya bisa mendengar dia ngomong apa.
"Halo. Sekar. Maaf ya. Iya, tadi setelah makan dia mengajak jalan-jalan
dan mau ngomong sesuatu. Awalnya saya pura-pura ragu ......" Saya
menoleh pada Alma, saya mengernyitkan dahi.
".... tapi lihat mukanya
gak bisa saya menolak. Melas banget, tapi itu yang justru meyakinkan
saya. Saya menangkap kejujuran dan keikhlasan di muka melasnya"
mendengar ini mata saya berkaca-kaca, tapi segera saya pura-pura tak
mendengar.
".... saat itulah saya merasa sepertinya saya jatuh cinta
padanya .... Hei Sekar, kok ciye sih? Jangan ketawain dong. Apa? Saya
seperti remaja masa kini? Betul juga sih ...." Saya senyum-senyum
sendiri.
".... Iya, dia berhasil menjebak saya dalam hatinya. Ehm,
dia agak tinggi, sedikit canggung, dan rambutnya berminyak tapi saya
menyukainya. Saya sepertinya .... merasa matanya sering memandang saya
ketika saya berpaling ..... seperti malam berlalu, saya mulai
menyukainya semakin dalam dan dalam .... Tapi saya khawatir dia takut
pada saya. Saya ceritakan padanya tulisan saya yang berisi rencana
membunuh si Anton mantan pacar saya. Saya berharap dia tidak merasa
seperti itu pada saya, karena satu-satunya orang yang benar-benar bisa
saya sakiti adalah diri saya sendiri .... Halo, iya? Ehm, belum. Secara
verbal dia belum menyatakannya. Ok. Kita ketemu besok saja ya".
"Ma, saya tidak takut padamu. Saya tidak merasa seperti yang kamu khawatirkan itu. Dan .... "
Hp saya berdering, yang telpon salah satu teman saya yang menunggu kedatangan saya,
"Halo. Iya ini saya sedang bersama dia. Gimana? Oh, Belum. Yang pertama
karena dia super pintar, penuh semangat, dan cantik ...." Saya lirik
Alma, dia tersenyum lalu menunduk.
".... Saya minder bro. Saya
merasa semua yang saya katakan padanya terdengar bodoh. Ya betul. Yang
kedua itu. Situasi pertemuan pertama kami memang bersifat kebetulan
banget. Bisanya cuma di film atau novel saja itu. Apa? Ya sekarang harus
yakin lah. Iya, iya. Nanti saya ke situ, jangan pada bubar dulu. Ok
bro, nuwun".
Saya masukkan hp saya ke kantong celana kemudian dia berkata,
"Mas, saya tidak pernah menilaimu. Bahkan saya merasa mas lebih pintar
dan berwawasan dari saya. Lalu soal pertemuan pertama kita, itu bukan
kebetulan! Tapi memang saya sengaja. Beberapa menit sebelum membeli es
cincau saya sudah memperhatikan mas".
"Ma, saya benar-benar tergila-gila padamu. Saya mencintai kamu".
Dia tersenyum, lalu
"Saya juga mas".
"Ma, saya juga mau ngomong bahwa bapak dan ibu saya pengen ketemu sama kamu. Gimana kalau akhir pekan ini?"
"Iya baiklah mas. Yang mau saya omongkan sama juga. Bapak dan ibu pengen ketemu mas. Berarti akhir pekan depannya lagi?"
"Sekarangpun saya siap Ma!"
"Halah! Memang mas gak takut dihajar teman-teman mas yang sudah sejak
tadi menunggu mas! Masih ada sekar juga yang jago taekwondo lho!"
"Oh iya. hahahah".
Lalu kami tertawa keras bersama.
Patung lelaki dengan kostum tradisi jawa di belakang kami menjadi saksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar