Kamis, 04 Desember 2014

Segregasi #7

Sejak SD-SMA saya sering ikut bermain sepakbola di kampung saya. Kebetulan posisi lapangan hanya beberapa puluh meter samping rumah saya. Tim yang kemasukan gol memijit kaki tim lawan sambil nyanyi selama 3 menit. Tim yang kemasukan gol joget sambil nyanyi 1 lagu. Tim yang kemasukan gol buka kaos. Tim yang kemasukan gol push-up 10 kali. Tim yang kemasukan gol skot jump 15 kali. Tim yang kalah menggendong tim lawan 1 putaran lapangan. Itulah beberapa aturan khusus yang disepakati untuk bermain sepakbola di kampung saya. Aturan khusus itu berubah kalau kami ingin dan sepakat untuk merubahnya.
Namun ada satu hal yang tidak berubah. Selesai bermain sebagian besar dari kami langsung menuju rumah saya untuk minum air kendhi. Kendhi adalah teko tradisional jawa yang terbuat dari tanah liat. Kata ibu saya kendhi itu adalah warisan turun temurun mulai dari nenek buyut saya. Jadi tiap kali kami antri untuk minum ibu saya pasti bilang,
"Awas! Hati-hati! Jangan sampai kendhinya pecah!".
Begitu juga sore kemarin, sebelum masuk kamar mandi beliau juga mengatakan itu pada saya dan Alma. Saya yang sudah mengenal lekuk kendhi itu sejak kecil tentu tidak jadi soal. Tapi ketika Alma, saya lihat cara Alma memegang kendhi itu canggung sekali. Entah kenapa begitu Alma meletakkan kendhi itu di meja, tangannya menyenggol kendhi itu kemudian "Pyyaarrr".... kendhi itu jatuh dan pecah.
"Duh Gusti paringono slamet!" ibu saya menjerit.
Alma menjerit kecil kemudian gugup dan salah tingkah. Dia menatap penuh penyesalan pada saya. Saya melongo beberapa detik tapi kemudian langsung berkata dengan nada setengah bercanda,
"Maaf bu, kendhinya jatuh dan pecah. Saya tidak sengaja menyenggolnya. Saking kangennya pengin minum karena sudah lama gak minum. Wah sepertinya memang sudah saatnya ganti kok ini bu. Besok biar saya ke pasar beli yang baru bu" kata saya sambil membersihkan pecahan kendhi itu.
"Kamu itu ceroboh! Makanya dengarkan dulu kalau orang tua lagi ngomong. Baru sampai rumah, tas masih digendong tidak diletakkan dulu langsung ngeloyor saja. Ya sudah, bersihkan saja pecahannya"
Malamnya, setelah makan malam kami berkumpul di ruang tamu. Saya perkenalkan Alma pada orang tua saya. Saya terkejut ketika kemudian Alma minta maaf pada ibu saya bahwa dia yang memecahkan kendhi. Bukan terkejut pada permintaan maaf Alma, karena saya sudah menduga Alma pasti akan melakukannya. Saya terkejut melihat mata ibu saya yang sepertinya menyembunyikan sesuatu. Tapi saya memutuskan untuk bertanya nanti saja. Lalu kami mengobrol banyak hal tentang Magelang, daerah asal Alma. Jenang gempol, es plered, mangut beong, jeruk keprok, salak nglumut, jathilan, borobudur, bahkan pesepakbola kawakan Kurniawan Dwi Yulianto.
Karena sudah capek dan ngantuk Alma pamit untuk tidur. Ayah saya kemudian menonton tivi sedang Ibu saya ke dapur membuatkan kopi untuk ayah saya. Kantuk saya tertahan oleh rasa penasaran saya pada suatu hal apa yang sepertinya disembunyikan ibu saya. Lalu saya menuju dapur,
"Bu, sekali lagi maafkan Alma ya. Tadi dia benar-benar tidak sengaja".
"Iya le. Ibu sudah memaafkan. Malah sudah sejak Alma minta maaf pada ibu tadi".
"Iya bu. Tapi sepertinya kok masih ada yang ibu gelisahkan. Saya khawatir jangan-jangan masih soal Alma memecahkan kendhi".
"Sebetulnya memang soal kendhi itu le. Tapi bukan soal Alma. Ibu malah mau bilang kalau ibu juga suka pada anak itu. Dia ramah, sopan, pinter ngomong, juga cantik".
"Memang kenapa dengan kendhi itu bu? Dari dulu ibu kan cuma bilang bahwa kendhi itu warisan keluarga turun-temurun sejak nenek buyut".
"Sejak nenek buyutmu kendhi itu sering menjadi pertanda kejadian-kejadian penting keluarga kita. Ibu pun juga meyakininya. Ibu pernah beberapa kali mengalami. Yang paling ibu ingat adalah ketika sebelum bapakmu melamar ibu ada orang yang lebih dulu melamar ibu, namanya Mas Wanto. Ketika Mas Wanto datang, nenekmu sengaja tidak membuatkan minum di gelas tapi menyuguhkan kendhi. Tapi lalu Mas Wanto tidak mau minum, bahkan bilang bahwa keluarga kita ndeso, kampungan, karena kendhi itu. Begitu Mas wanto pamit pulang, nenekmu bilang pada Mas Wanto untuk membatalkan niatnya melamar ibu. Seminggu kemudian ibu mendengar kabar bahwa Mas Wanto yang mengaku bujang pada ibu ternyata sudah memiliki istri dan anak. Yang kedua, sebelum meninggal almarhum masmu minta minum air kendhi itu. Tentu kamu ingat, kan kamu yang mengambil kendhi itu di rumah untuk di bawa ke rumah sakit. Setelah masmu minum, kita sama-sama tahu wajahnya segar kemudian meninggal dengan tenang".
"Lalu kira-kira firasat apa kejadian Alma memecahkan kendhi itu bu?"
"Ibu tidak merasakan apa-apa. Besok coba ibu obrolkan sama bapakmu dulu. Berdoa saja semoga bukan pertanda buruk buat keluarga kita dan Alma, termasuk hubungan kalian. Sekarang tidur sana saja dulu, kamu pasti sudah lelah sekali".
Begitu berbaring saya yang sebetulnya sudah capek sulit untuk bisa tidur. Terbayang banyak hal silih berganti; saya dan teman-teman semasa kecil saya antri minum air kendhi itu, almarhumah nenek saya yang dulu sering mencuci kendhi itu, almarhum mas saya yang pernah minum seluruh isi air kendhi itu sekali minum, ibu saya yang selalu mengingatkan untuk hati-hati siapapun yang minum air kendhi itu, dan kejadian ketika alma menjatuhkan kendhi itu.
Entah terdorong apa tiba-tiba saya bangun lalu menuju tong sampah depan rumah dimana saya membuang pecahan kendhi itu. Saya kaget, pecahan kendhi itu lenyap. Padahal biasanya tukang sampah keliling datang setelah subuh. Saya masuk rumah lagi, menuju dapur. Di dapur saya melihat ibu saya menaruh pecahan kendhi itu di kardus yang masih terbuka. Ibu saya terus menatap pecahan kendhi itu dengan sedikit terisak. Saya menghampirinya, pelan-pelan saya duduk di sampingnya. Ibu saya menoleh, isaknya sedikit bertambah keras. Saya memeluknya, sayapun sedikit terisak lalu,
"Bu, mungkin nenek dan mas kangen banget sama kita. Mungkin juga pengin dikenalkan sama Alma. Besok sore kita ziarah ya bu".
Kami saling memandang, ibu saya yang masih terisak kemudian tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar