Sejak SD-SMA saya sering ikut bermain sepakbola di kampung saya.
Kebetulan posisi lapangan hanya beberapa puluh meter samping rumah saya.
Tim yang kemasukan gol memijit kaki tim lawan sambil nyanyi selama 3
menit. Tim yang kemasukan gol joget sambil nyanyi 1 lagu. Tim yang
kemasukan gol buka kaos. Tim yang kemasukan gol push-up 10 kali. Tim
yang kemasukan gol skot jump 15 kali. Tim yang kalah menggendong tim
lawan 1 putaran lapangan. Itulah beberapa aturan khusus yang disepakati
untuk bermain sepakbola di kampung saya. Aturan khusus itu berubah kalau
kami ingin dan sepakat untuk merubahnya.
Namun ada satu hal yang
tidak berubah. Selesai bermain sebagian besar dari kami langsung menuju
rumah saya untuk minum air kendhi. Kendhi adalah teko tradisional jawa
yang terbuat dari tanah liat. Kata ibu saya kendhi itu adalah warisan
turun temurun mulai dari nenek buyut saya. Jadi tiap kali kami antri
untuk minum ibu saya pasti bilang,
"Awas! Hati-hati! Jangan sampai kendhinya pecah!".
Begitu juga sore kemarin, sebelum masuk kamar mandi beliau juga
mengatakan itu pada saya dan Alma. Saya yang sudah mengenal lekuk kendhi
itu sejak kecil tentu tidak jadi soal. Tapi ketika Alma, saya lihat
cara Alma memegang kendhi itu canggung sekali. Entah kenapa begitu Alma
meletakkan kendhi itu di meja, tangannya menyenggol kendhi itu kemudian
"Pyyaarrr".... kendhi itu jatuh dan pecah.
"Duh Gusti paringono slamet!" ibu saya menjerit.
Alma menjerit kecil kemudian gugup dan salah tingkah. Dia menatap penuh
penyesalan pada saya. Saya melongo beberapa detik tapi kemudian
langsung berkata dengan nada setengah bercanda,
"Maaf bu, kendhinya
jatuh dan pecah. Saya tidak sengaja menyenggolnya. Saking kangennya
pengin minum karena sudah lama gak minum. Wah sepertinya memang sudah
saatnya ganti kok ini bu. Besok biar saya ke pasar beli yang baru bu"
kata saya sambil membersihkan pecahan kendhi itu.
"Kamu itu ceroboh!
Makanya dengarkan dulu kalau orang tua lagi ngomong. Baru sampai rumah,
tas masih digendong tidak diletakkan dulu langsung ngeloyor saja. Ya
sudah, bersihkan saja pecahannya"
Malamnya, setelah makan malam kami
berkumpul di ruang tamu. Saya perkenalkan Alma pada orang tua saya.
Saya terkejut ketika kemudian Alma minta maaf pada ibu saya bahwa dia
yang memecahkan kendhi. Bukan terkejut pada permintaan maaf Alma, karena
saya sudah menduga Alma pasti akan melakukannya. Saya terkejut melihat
mata ibu saya yang sepertinya menyembunyikan sesuatu. Tapi saya
memutuskan untuk bertanya nanti saja. Lalu kami mengobrol banyak hal
tentang Magelang, daerah asal Alma. Jenang gempol, es plered, mangut
beong, jeruk keprok, salak nglumut, jathilan, borobudur, bahkan
pesepakbola kawakan Kurniawan Dwi Yulianto.
Karena sudah capek dan
ngantuk Alma pamit untuk tidur. Ayah saya kemudian menonton tivi sedang
Ibu saya ke dapur membuatkan kopi untuk ayah saya. Kantuk saya tertahan
oleh rasa penasaran saya pada suatu hal apa yang sepertinya
disembunyikan ibu saya. Lalu saya menuju dapur,
"Bu, sekali lagi maafkan Alma ya. Tadi dia benar-benar tidak sengaja".
"Iya le. Ibu sudah memaafkan. Malah sudah sejak Alma minta maaf pada ibu tadi".
"Iya bu. Tapi sepertinya kok masih ada yang ibu gelisahkan. Saya khawatir jangan-jangan masih soal Alma memecahkan kendhi".
"Sebetulnya memang soal kendhi itu le. Tapi bukan soal Alma. Ibu malah
mau bilang kalau ibu juga suka pada anak itu. Dia ramah, sopan, pinter
ngomong, juga cantik".
"Memang kenapa dengan kendhi itu bu? Dari
dulu ibu kan cuma bilang bahwa kendhi itu warisan keluarga turun-temurun
sejak nenek buyut".
"Sejak nenek buyutmu kendhi itu sering menjadi
pertanda kejadian-kejadian penting keluarga kita. Ibu pun juga
meyakininya. Ibu pernah beberapa kali mengalami. Yang paling ibu ingat
adalah ketika sebelum bapakmu melamar ibu ada orang yang lebih dulu
melamar ibu, namanya Mas Wanto. Ketika Mas Wanto datang, nenekmu sengaja
tidak membuatkan minum di gelas tapi menyuguhkan kendhi. Tapi lalu Mas
Wanto tidak mau minum, bahkan bilang bahwa keluarga kita ndeso,
kampungan, karena kendhi itu. Begitu Mas wanto pamit pulang, nenekmu
bilang pada Mas Wanto untuk membatalkan niatnya melamar ibu. Seminggu
kemudian ibu mendengar kabar bahwa Mas Wanto yang mengaku bujang pada
ibu ternyata sudah memiliki istri dan anak. Yang kedua, sebelum
meninggal almarhum masmu minta minum air kendhi itu. Tentu kamu ingat,
kan kamu yang mengambil kendhi itu di rumah untuk di bawa ke rumah
sakit. Setelah masmu minum, kita sama-sama tahu wajahnya segar kemudian
meninggal dengan tenang".
"Lalu kira-kira firasat apa kejadian Alma memecahkan kendhi itu bu?"
"Ibu tidak merasakan apa-apa. Besok coba ibu obrolkan sama bapakmu
dulu. Berdoa saja semoga bukan pertanda buruk buat keluarga kita dan
Alma, termasuk hubungan kalian. Sekarang tidur sana saja dulu, kamu
pasti sudah lelah sekali".
Begitu berbaring saya yang sebetulnya
sudah capek sulit untuk bisa tidur. Terbayang banyak hal silih berganti;
saya dan teman-teman semasa kecil saya antri minum air kendhi itu,
almarhumah nenek saya yang dulu sering mencuci kendhi itu, almarhum mas
saya yang pernah minum seluruh isi air kendhi itu sekali minum, ibu saya
yang selalu mengingatkan untuk hati-hati siapapun yang minum air kendhi
itu, dan kejadian ketika alma menjatuhkan kendhi itu.
Entah
terdorong apa tiba-tiba saya bangun lalu menuju tong sampah depan rumah
dimana saya membuang pecahan kendhi itu. Saya kaget, pecahan kendhi itu
lenyap. Padahal biasanya tukang sampah keliling datang setelah subuh.
Saya masuk rumah lagi, menuju dapur. Di dapur saya melihat ibu saya
menaruh pecahan kendhi itu di kardus yang masih terbuka. Ibu saya terus
menatap pecahan kendhi itu dengan sedikit terisak. Saya menghampirinya,
pelan-pelan saya duduk di sampingnya. Ibu saya menoleh, isaknya sedikit
bertambah keras. Saya memeluknya, sayapun sedikit terisak lalu,
"Bu, mungkin nenek dan mas kangen banget sama kita. Mungkin juga pengin dikenalkan sama Alma. Besok sore kita ziarah ya bu".
Kami saling memandang, ibu saya yang masih terisak kemudian tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar