Sejak kecil Alma selalu berharap waktu berlalu dengan cepat. Supaya terbebas dari sekolah, dari orang tuanya yang pragmatis, supaya dia bisa menjadi dirinya sendiri, dan dari semua omong kosong seperti itu. Dia hanya ingin menutup mata kemudian terbangun dan sudah menjadi seorang yang dewasa. Sedangkan saya, sejak mengenal teater saya ingin segalanya melambat. Saya dan mungkin juga banyak teaterawan muda, ya kami semua merasa sedang melakukan hal yang sangat penting. Saya melihat besarnya energi, segala kreatifitas dan "ambisi" yang kami miliki. Dan ketika kakak saya satu-satunya meninggal saya ingin segalanya lebih lambat lagi. Sehingga saya bisa lebih sering mendoakannya. Begitu juga ketika kemudian mengenal Alma saya ingin segalanya lebih dan lebih melambat lagi. Sehingga saya bisa memegang hidungnya ketika dia sedang sakit flu dan menggelitik telapak kakinya ketika dia merasa sangat capek.
Namun petang ini begitu sampai depan rumah Alma saya merasa perjalanan selama empat jam berlalu begitu cepat. Kemudian saya hanya bisa mengenang dengan membayangkannya lagi beberapa menit kejadian-kejadian yang seluruhnya terasa menyenangkan selama perjalanan kami. Namun lamunan saya buyar begitu Alma menepuk pundak saya dan mengajak saya untuk masuk rumahnya.
Setelah istirahat sebentar dan mandi kami makan malam bersama orang tua Alma.
Saya diperkenalkan Alma pada orang tuanya. Nama ibu Alma adalah Sari yang merupakan nama tengah Alma. Sedangkan nama bapak Alma adalah Wardhana yang merupakan nama belakang Alma. Orang tua Alma sangat kaget ketika mengetahui bahwa kami baru kenal dua bulan. Dan lebih kaget lagi ketika mengetahui saya kuliah di perguruan tinggi seni jurusan teater.
Selesai makan tiba-tiba bapak Alma beranjak menuju ruang tamu, lalu;
"Mas Yudi, sepertinya bapak mau ke ruang tamu. Pergilah ke sana mengobrol sama bapak. Biar saya juga bisa ngobrol sama Alma, ya" kata ibu Alma.
Saya memandang Alma, dia mengangkat alisnya dan tersenyum lalu menggerakkan tangannya mempersilakan saya pergi ke ruang tamu.
"Mari silahkan duduk mas, saya ingin ngobrol beberapa hal. Bagaimana kalau kita ngobrol sambil main catur? Bisa main catur kan?".
"Ya pak. Tidak terlalu mahir, lumayan bisa lah pak".
Lalu kami menata bidak catur di atas papan.
"Pernah ikut lomba catur mas?"
"Pernah pak. Tapi cuma di kampus sama di kampung saat tujuhbelasan".
Permainan catur kami mulai. Bapak Alma memainkan bidak putih sedang saya bidak hitam. Bapak Alma memulai permainan dengan pembukaan gambit Blackmar Diemer. Lalu saya memutuskan menggunakan pertahanan Nimzo Hindia.
"Juara berapa mas?".
"Di kampus hanya juara harapan pak. Di kampung dua kali juara 1, yang pertama final lawan bapak saya, yang kedua final lawan kakak saya. Saya gagal cetak hattrick, langkah saya terhenti di semifinal oleh kakak saya yang akhirnya juara setelah mengalahkan bapak saya di final".
"Oh rupanya keluarga kamu dinasti catur di kampungmu ya. Kamu dan kakakmu tega sekali ya sama bapaknya sendiri".
"Oh tidak pak. Juara satu selama lima kali berturut-turut sebelum saya adalah bapak saya. Dua kali mengalahkan Pak Kades, satu kali menghajar saya, dan dua kali memusnahkan ambisi kakak saya".
"Wah nampaknya menarik sekali keluarga kalian. Kalau saya memang tidak pernah juara, karena memang tidak pernah ikut lomba. Tapi saya sudah mengalahkan dua mantan juara. Mari kita lihat apakah saya bisa cetak hattrick".
Lalu ibu Alma datang membawa dua cangkir kopi untuk kami,
"Oh ya mas Yudi, selama kenal Alma sudah pernah lihat Alma sakit flu?".
"Pernah sekali bu. Awalnya saya kira dia bercanda, saya disuruhnya memencet hidungnya selama 1 jam. Ternyata beberapa jam kemudian sakit flunya sembuh".
"Kalau Alma merasa capek banget mas Yudi pernah lihat".
"Yang itu juga bu, saya disuruh menggelitik telapak kakinya. Kalau yang ini lebih lama lagi. Dua jam lebih lho bu".
"Ya begitulah mas. Itu kebiasaannya sejak kecil. Kalau di rumah ibu yang melakukannya. Ya sudah silahkan diminum kopinya. Ibu mau melanjutkan ngobrol sama Alma lagi".
"Iya bu terima kasih. Silahkan bu".
Begitu melihat ekspresi bapak Alma yang sepertinya berubah lalu saya bertanya,
"Maaf pak, apa bapak sudah bosan main caturnya?".
"Tidak. Saya tidak pernah bosan main catur. Dengar mas. Kalau saya bosan main catur, itu artinya saya bosan hidup. Permainan catur adalah tantangan bagi ketajaman otak dan kekuatan sikap jiwa manusia. Sebagaimana taktik cinta, taktik perang, politik dan lain sebagainya. Nah saya ingin tahu bagaimana taktik cinta kamu pada Alma. Maksud saya ke depannya nanti".
Ah kalimat yang diucapkan bapak Alma tidak asing buatku, familiar sekali. Oh ya, kalimat itu adalah dialog tokoh Samuel dalam drama "Lawan Catur" karya Kenneth Arthur.
"Saya selalu merindukan cara Alma duduk di samping saya pak. Kadang dua tangannya melingkar di dada saya erat sekali dan saya tidak bisa bergerak, bahkan sulit bernafas, juga terkesan dia terlalu manja. Tapi saya merasa nyaman, utuh. Saya akan siap mengatakan sesuatu seperti yang Alma duga dan harapkan ketika sedang melakukan sesuatu sampai kami tua nanti. Misalnya jika ia sedang menggigil di malam hari yang dingin maka saya akan berkata padanya; tunggu sebentar saya akan mengambilkan syal dan jaket untukmu. Tentu kami akan lebih kuat jika bapak dan ibu merestui".
"Mas Yudi, dengarlah! Jangan buang terlalu banyak waktumu untuk cinta yang romantis. Hal-hal seperti itu bisa mengacaukan. Gagasan tentang pasangan jiwa, tentang seseorang yang akan datang untuk melengkapi dan mengurusi kita. Persahabatan dan kerjalah, yang membuat kita paling bahagia. Saya ingin mengatakan bahwa sebetulnya saya juga suka sama mas Yudi. Tapi kalau kamu tidak mempunyai pekerjaan yang baik untuk bisa mengurus anak saya apa manfaatnya rasa suka saya itu?! Jadi saya ingin hal yang lebih konkret untuk bisa merestui kalian. Dan sekarang permainan catur kita ini yang akan menentukan. Jika kamu menang kamu boleh membuktikan bahwa tanpa hal praktis saya dan ibunya Alma juga bisa merasakan kebahagian kalian. Tapi jika saya yang menang maka berusahalah untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang bagus untuk mendapat restu saya".
Saya heran ketika kemudian kami sama-sama menghela nafas panjang bersama.
"Saya sadar saya tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan apalagi keinginan Alma. Begitupun sebaliknya Alma juga tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan saya pak. Saya juga sepenuhnya sadar bahwa bukan cinta pada satu orang yang paling penting tapi cinta pada kehidupan. Dengan hidup saya akan berusaha mengatasinya. Saya hanya berharap akan sedikit lebih mudah dalam melakukannya. Tantangan dari bapak dalam permainan catur ini saya terima pak".
Kemudian kami mulai bermain lagi. Kami sepakat untuk bermain lima babak. Setelah lebih dari tiga jam kami menyelesaikan empat babak dengan kedudukan sama kuat 2-2. Di babak terakhir kami sama-sama tidak berhenti merokok. Begitu habis kami sulut lagi rokok yang baru. Akhirnya saya memenangkan babak penentuan itu. Saya diuntungkan dengan kondisi fisik yang lebih muda.
"Baiklah, selamat mas. Kapan-kapan kita main lagi. Kita lihat nanti apa kamu masih bisa menang dalam suasana yang berbeda. Sekarang silahkan ke kamar tidur saja untuk istirahat".
Lalu beliau membereskan bidak untuk dimasukkan ke dalam papan catur,
"Ehm biar saya saja yang membereskan pak".
"Tidak usah. Biar saya saja. Kamu kan juaranya".
Saya menurut saja akhirnya. Setelah sekitar tujuh langkah saya berhenti, menoleh padanya. Tahu saya berhenti dan memandangnya beliau mengangkat bidak kuda lalu berkata dengan berbisik namun saya masih jelas bisa mendengarnya, "Kuda biadab mas!".
Ya, di babak penentuan tadi beliau saya kalahkan dengan bidak kuda tersebut.
Lalu kami sama-sama tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar