Minggu, 24 Januari 2016

Segregasi #18

Seumur-umur baru sekali saya mandi membawa ponsel, yaitu sore tadi. Ponsel saya taruh di atas rak, di samping botol shampo saya. Belum selesai saya mandi ponsel saya berdering. Ternyata Atis yang menelpon. Dia mengajukan pertemuan kami yang sedianya besok malem minggu menjadi petang tadi habis maghrib. Lagi-lagi tempat pertemuan kami adalah kedai kopi. Kali ini Atis memilih sebuah kedai kopi dekat Monumen Pers. Kedai kopi tersebut cukup luas. Ada 3 meja besar berada di tengah dengan kapasitas 8 orang dan sekitar 6-8 meja kecil dengan kapasitas 2-4 orang berada di pinggir-pinggir dinding. Kami memilih meja kecil yang berada di pojok depan.
“Besok minggu malem aku ngumpulin Tim Inti M2A2, Mas. Aku belum prepare sama sekali. Nah, malem minggunya mau aku rencanain buat prepare. Makanya ketemuan kita aku ajuin malem ini aja. Gimana Mas, besok minggu malem mau ikut ngga?”
“Tidak usah”.
Jawab saya basa-basi karena sebetulnya saya pengin ikut. Saya betul-betul penasaran dengan orang-orang yang akan diajak Atis. Melihat Atis yang menurut saya adalah perempuan yang keras tapi cerdas, saya menduga orang-orang yang diajak pun pasti orang-orang yang luar biasa juga.
“Lho. Kenapa?”.
“Posisi saya di balik yang nampak to?”.
“Ya udah kalau ngga mau. Lagian juga baru sosialisasi gagasan dan nama komunitas aja kok. Kalo Mas ikut mau ngapain juga. Kasihan Mas malah entar, plonga-plongo dhewe no”.
Entah sudah berapa kali tiap ketemu Atis saya sering berkata dalam hati, kali ini pun iya; “Wah, ra njawa blas cewek iki. Ra ngerti yen kene ki mung basa-basi”.
“Mau pesan apa, Mas?”.
“Saya ikut sajalah besok minggu malam”.
“Ya udah ikut aja. Mau minum apa?”.
“Teh rempah”.
“Hah?! Dasar orang tua”.
“Biar. Daripada kamu tidak tua”.
“Nanti pada saatnya saya akan tua juga, Mas. Dan saat saya tua itu, Mas sudah pikun. Hahaha”.
“No coment! ….. Katanya mau ngasih kejutan?”.
Atis tidak menjawab. Dia seperti tidak peduli lalu membuka kemeja lengan panjangnya. Atis memakai kaos oblong tanpa lengan dengan gambar tokoh komik Manga yang saya tidak tahu namanya. Saya ulangi lagi pertanyaan saya.
“Katanya mau ngasih kejutan?”.
Atis menunjuk lengan kirinya yang bagian atas dengan tangan kanannya. Saya baru sadar setelah agak melotot. Rupanya atis adalah cewek bertato. Di lengannya bagian kiri atas tergores tato dengan gambar bunga anggrek hitam di lingkari tulisan. Karena cahaya remang saya susah membaca tulisan itu lalu saya bertanya padanya,
“Anggrek hitam kau pilih tentu karena bunga itu bunga khas Borneo. Kalau tulisan yang melingkar itu tulisan apa, Tis?”.
“Nama papah dan mamahku itu, Mas”.
Setelah itu tiba-tiba Atis berdiri lalu berbalik badan. Dia mengangkat kaosnya sedikit sehingga terlihat gambar tato di atas pinggangnya. Gambar tato itu berupa dua huruf kapital WW berwarna merah dengan outline hitam berdiameter sekitar 8-10 cm, dilingkari tulisan yang bisa saya baca dengan mudah 'Atis Tindoh Indra Sarita'.
“Itu nama lengkapmu, Tis?”.
“Iya, Mas. Papah yang ngasih nama ngga sengaja lho Mas kalo inisialnya jadi sama persis nama depan. Gimana surprise ngga, Mas?”.
“Surprise banget, Tis. Kenapa memilih tato?”.
“Yang pertama sebagai tanda, Mas. Kedua tentang keputusan dan kesetiaan. Yang ketiga tentang rasa sakit”.
“Terlepas dari yang kedua dan ketiga. Sebagai tanda itu, bisa dengan media lain kan?
“Iya, Mas. Tapi bukan berarti bahwa keberadaan tato kurang berharga ketimbang hal-hal yang diwakili olehnya, karena makna yang berpeluang untuk hadir juga turut ditentuin oleh keberadaan tato secara material. Motif, warna, komposisi, bidang, letak, dan sebagainya. Justru di situlah karakter istimewa tato sebagai tanda, Mas. Yaitu secara material ia bersenyawa dengan tubuh manusia. Tato hanya akan musnah ketika tubuh manusia penyandangnya binasa, Mas”.
“Yang kedua tentang keputusan dan kesetiaan. Bagaimana itu, Tis?
“Tato menuntut keberanian orang untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri, Mas. Karena akibat pentatoan ditanggung seumur hidup oleh pentatonya, bukan orang lain, bukan pula pentatonya. Ngga ada seoranpun yang tahu rasanya setelah 10 tahun, 20 tahun, atau lebih setelah ditato”.
“Saya paham, Tis. Kalau soal idealisasi ada tidak tato itu?”.
“Jaman sekarang adalah jamannya industri fashion, Mas. Akibat dari sistem industri fashion adalah bahwa orang ngga lagi punya keutuhan diri, ia senantiasa cuma ditentuin oleh perubahan yang ditawarin industri. Artinya, kesempatan tiap orang untuk menentukan seperti apa dirinya akan ditampilin jadi terbatasi. So, tato adalah simbol dari upaya radikal perebutan kembali otonomi atas penentuan diri. Kenapa radikal? Karena tato tidak sekedar aksesoris, Mas. Permanennya tato bukan halangan. Bahkan sebaliknya, tato dijadikan tanda komitmen pemilik tato terhadap perjuangan penentuan diri, seumur hidup. Apa itu kalau bukan kesetiaan, mas?”.
Saya mengernyitkan dahi tanda setuju.
“Kalau letak tatonya apa pertimbanganmu?”.
“Nah, ini baru namanya pertanyaan, Mas”.
Lagi-lagi saya harus merasa bahwa Atis sering kurang ajar pada saya. Tapi perasaan saya ini selalu saya sembunyikan. Atis menyeruput kopinya terlebih dahulu sebelum menjawab. Saya pun ikut menyeruput teh rempah saya.
“Hahaha ….. aku suka fakta bahwa ketika aku jalan-jalan ngga ada yang akan menyadari tato aku, Mas. Bahkan kalo kelihatan pun orang-orang ngga akan bisa menilai diri aku tu gimana. Dan aku bisa mutusin kapan dan di mana aku akan nunjukin. Termasuk pada Mas saat ini. Aku suka fakta bahwa setiap orang itu berbeda, Mas. Kita ngga bisa ngliat orang bertato dan menebak apa yang dia lakuin. Dan yang lebih penting, Mas. Personalisasi tato membuka peluang sebagai semacam biografi pemiliknya. Tato yang dibikin sebagai kenangan atas momen-momen yang dianggap penting, Mas. Nah, pencatatan biografi pada tubuh menjadi istemewa karena ‘yang lalu’ dan ‘yang sekarang’ dipertemukan dalam tubuh. Atau sebaliknya, bahwa saat ini mengandung masa lalu. Kesadaran historisitas manusia mencuat lewat tato kan, Mas?”.
Saya menghela nafas, tersenyum lalu manggut-manggut. Atis ikut tersenyum. Dan secara tiba-tiba kemudian Atis berteriak,
“Nah ini! Masa Mas mau nanya yang ketiga? Mas mahasiswa seni to? Hayo! Gimana coba yang ketiga?”
“Males ah! Kamu menyepelekan begitu sih”.
“Iiihh! Sudah tua kok ngambekan sih? Hahaha … ngga aku bayarin lho ntar!”
“Ngutang lah. Yang punya warung teman saya kok”.
“Iya. Iya. Serius deh. Gimana tu Mas yang ketiga menurut Mas?”.
“Rasa sakitnya seperti apa mungkin setiap orang berbeda. Ada yang merasa sakitnya seperti melahirkan. Sakit tetapi dilakukan lagi. Tapi satu hal yang pasti selalu hadir dalam proses penatoan adalah sensasi tubuh yang muncul dari tusukan jarum. Artinya, tato merupakan sebuah seni pengalaman ketubuhan. Orang yang ditato ingin merasakan, mengalami sesuatu lewat tubuhnya lalu membekas di tubuh. Menurut saya itu merupakan bentuk perlawanan dari gejala masyarakat modern yang tubuhnya telah dan semakin dimanjakan oleh teknologi, serta dijauhkan dari keharusan untuk bersusah-payah secara fisik. Maka dalam tato kemudian bisa ditemukan semacam ‘ideologi’ yang mengutamakan tubuh dalam memperoleh makna hidup. Tato adalah bentuk praktik dari politik tubuh, Tis”.
Atis manggut-manggut, tersenyum, tertawa kecil lalu tepuk tangan.
“Hore! Ciye mahasiswa seni len! Hahaha …”.
“Kalau yang huruf besar WW itu, apa artinya, Tis?”.
“Hehe … ngga tau, Mas. Papah juga yang nyaranin. Aku tanya, kata papah itu inisial orang yang akan berpengaruh besar pada kehidupan aku, Mas”.
“Hahaha … itu kan inisialku, Tis”.
“Yang bener, Mas?”.
“Iya. Nama lengkapku Wahyudi Widodo”.
Hampir semenit Atis tertawa. Selesai tertawa namun masih dengan senyum dan mata yang berbinar dia berkata lirih pada saya,
“Terlepas dari tato itu aku emang udah percaya kalo Mas adalah orang yang baik. Orang yang bisa aku percaya dan mau percaya sama aku. Jadi pastikanlah bahwa kata-kata papah aku ngga akan salah, Mas. Kalo sampai berpengaruh buruk awas kau, Mas. So, sekarang Mas berjanjilah untukku”.
Tanpa berpikir dua kali saya langsung menuruti permintaannya.
“Saya berjanji, Tis. Kalau sampai ingkar saya rela dihukum. Apapun hukumannya, siapapun yang menghukum”.
Atis menyalami saya lalu memeluk saya sebentar.
“Thanks ya, Mas”.
Saya tidak menjawab dengan perkataan. Saya angkat tangan kanan saya. Saya hormat kepadanya. Seperti seorang kopral member hormat pada sang jendral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar