Jumat, 21 November 2014

Segregasi #5

Sebelumnya saya merencanakan akan menghabiskan akhir pekan untuk menyendiri. Sabtu dan minggu, dua hari mungkin saya akan menulis lagu, puisi, naskah drama, dan atau cerpen. Namun rencana itu saya urungkan, karena saya dan Alma  sepakat untuk keluar bareng pada sabtu malam. Begitu bertemu kami sepakat cari warung makan dulu untuk makan. Kami memilih warung makan penyet depan kampusnya. Ketika makan kami tidak berdialog, kami sama-sama makan dengan cepat. Beberapa kali dia mengumpat karena sambalnya begitu nikmat. Ah, umpatannya justru terasa sexy buat saya, karena lebih merupakan ekspresi kebahagiaan. Begitu suapan terakhir saya, kami saling menatap dan sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata,
"Mau nambah?"
"Hehe, iya mas. Bajigur! Bener-bener enak kalau ini mas".
Selesai makan kami muter-muter, melintasi jalan-jalan di jantung kota. Meski dianggap sebagai kota budaya, bahkan berslogan atau mengaku sebagai kota yang menjadi spirit jawa, saya merasa belum ada peristiwa budaya di sepanjang jalan yang kami lalui. Yang ada adalah peristiwa yang bersifat materiil. Toko-toko, ruko, mall, warung kaki lima tapi harganya mahal, transaksi jual beli mendominasi setiap jalan di jantung kota. Sebetulnya peristiwa budaya yang sudah ada sejak dulu masih dipertahankan dan sekarang banyak acara baru bahkan berskala internasional juga diadakan. Namun saya menangkap kesan yang kuat bahwa itu hanya simbol, untuk menunjukkan bahwa kota ini adalah kota budaya. Bukan karena munculnya proses kreatif penciptaan karya seni dulu, yang kemudian perlu diberi ruang untuk disampaikan pada masyarakat.Ya, saya dan Alma hanya ngobrol soal itu selama muter-muter sepanjang jalan. Ternyata pandangan kami tidak jauh berbeda. Merasa bosan muter-muter kami putuskan untuk istirahat. Kami memilih nongkrong di depan gedung bank terkenal. Di tempat itu setiap hari entah pagi, siang, sore apalagi malam ada orang yang nongkrong ataupun cuma mampir sekedar berfoto-selfie. Setelah duduk saya membuka obrolan,
"Nah, sekarang saat yang tepat buat kamu cerita kisah cintamu. Kemarin dulu kan kamu curang!".
"Sebetulnya saya malas cerita soal itu mas. Ehm ok lah, saya putus 6 bulan yang lalu. Dia bodoh, over protektif, cemburuan, pemarah, alkoholic juga. Kecewa, marah, dan takut jadi satu mas. Bahkan sempat terbersit untuk membunuhnya, meskipun tidak mungkin saya lakukan. Tapi kemudian rasa aneh itu saya tuangkan jadi tulisan di lembar kertas. Karena memang sejak kecil saya terbiasa menulis kejadian yang saya alami setiap harinya pada lembar kertas, bukan buku diari. Saking terbawa emosi saya tulis secara detil bagaimana langkah-langkah saya untuk bisa membunuhnya."
Disela-sela dia bercerita ini saya sering tertawa kecil.
"Sampai satu waktu saya lupa lembar kertas itu masih di kursi tamu ketika dia datang di rumah mas. Ternyata dia membacanya sewaktu saya di dapur sedang bikin minum untuknya. Kemudian dia mengajak keluar ke teras rumah, saya belum tahu kalau dia telah membaca lembar kertas saya. Wajahnya memelas, serius sekali. Dia katakan pada saya bahwa saya terlalu baik untuknya, dia minta putus. Saya berfikir sejenak baru kemudian sadar bahwa dia telah membaca lembar kertas saya. Saya jelaskan padanya bahwa itu hanya tulisan. Tapi dia sangat yakin bahwa saya akan benar-benar melakukannya, ya membunuhnya. Dia menatap tajam mata saya dan mengatakan bahwa dari cara saya mengatakannya, dia tahu saya akan melakukannya. Bahkan kemudian ketika pamit dia mengatakan akan lapor polisi jika dia bertemu saya lagi kapan dan di manapun".
Saya tertawa cukup keras membayangkan cerita anehnya itu sampai kemudian dia berkata lagi,
"Mas, mencintai sesorang dan dicintai sangat berarti buat saya. Bukankah semua yang kita lakukan dalam hidup adalah cara untuk sedikit lebih dicintai?"
Saya menatap jauh matanya kemudian saya berkata,
"Ya. Kadang saya bermimpi menjadi ayah dan suami yang baik, kadang itu terasa dekat sekali. Tapi kemudian, di lain waktu terasa konyol. Justru seperti akan merusak seluruh hidup saya. Dan tidak hanya rasa takut berkomitmen, tidak mampu merawat, atau mencintai. Tapi karena saya bisa, hanya itu, jika saya benar-benar jujur pada diri saya sendiri. Saya lebih suka mati dengan mengetahui bahwa saya bagus pada satu hal, bahwa saya unggul di beberapa cara, bahwa saya berada dalam hubungan yang bagus".
"Ya. Saya pernah bertemu orang tua. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia telah menghabiskan semua hidupnya hanya untuk pekerjaannya lalu tiba-tiba terpikir olehnya bahwa dia tidak pernah benar-benar memberikan apapun dari dirinya sendiri. Hidupnya bukan untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa. Dia hampir menangis mengatakan itu".
Mata kami semakin dalam saling menatap. Tangan kami saling berpegangan erat, erat sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar