“Narsis” kata Alma.
“Kamu itu narsis mas!”
“Narsis bagaimana?” tanya saya,
“Bagaimana tidak narsis? Mas menulis cerita tentang pengalaman hidup mas di sosial media itu berbeda dengan jika mas menulisnya menjadi buku novel atau terbit di koran. Karena sosial media yang mas pakai untuk menulis cerita mas itu mempunyai sifat yang berbeda dengan novel atau koran. Kesannya mas itu seperti cuma sedang caper, cari perhatian.”
“Tapi saya tidak pernah berniat cari perhatian Ma. Ya hanya karena saya suka menulis saja. Kalau capernya ke kamu mungkin ada benarnya. Dan itu adalah wujud kasih sayangku padamu.”
Alma tersenyum lalu ngakak,
“Preeeet! Saya bilangin ya mas. Rayuan mas itu jayus! Tapi entah kenapa bawaannya pengin ketawa saja dengan setiap rayuan mas yang jayus itu.”
“Itu karena saya mengatakannya dari hati yang terdalam Ma!”
Alma ngakak lebih panjang dari ngakak yang sebelumnya tadi kemudian dia mengumpat,
“T..L..K., B..B..K!”
TLK BBK kepanjangan dari Telek (Tai) Bebek. Umpatan ini adalah satu-satunya umpatan yang dia pakai sejak dia kerja di Jakarta. Jadinya monoton, tapi akhirnya sayapun menggunakan umpatan ini ketika sedang bercanda dengan teman-teman saya.
“Ah sudah dong mas bercandanya. Saya pengin ngomong serius.”
“Sejak tadi saya juga serius. Saya menulis cerita itu di sosial media tidak berniat cuma caper saja. Lagipula, cerita yang saya tulis itu tidak semuanya benar-benar pengalaman hidup saya. Tapi ada yang fiktif juga. So, di bagian mana capernya?”
“Biarpun begitu kesannya ya tetap mas itu cari perhatian. Beda kalau tokoh utama dalam cerita mas itu tidak menggunakan sudut pandang orang pertama.”
Saya berpikir sebentar lalu paham maksud dia,
“Betul juga kalau seperti itu. Ok, mau dibawa kemana obrolan ini?”
“Saya dapat tugas di tempat kerja yang baru mas. Sama pimrednya saya disuruh menulis berita tentang kematian seseorang berikut riwayat hidupnya. Saya harus wawancara keluarganya. Saya catat pengalaman hidupnya, pekerjaan terakhirnya, berapa orang saudaranya, dan lain sebagainya.”
“Obituari?” tanya saya
“Ya mas. Betul.”
Ya, Alma sekarang kerja sebagai wartawan lepas di harian lokal. Dia memutuskan tidak kembali ke Jakarta ketika kami memancing bersama di waduk cengklik seminggu yang lalu. Dia minta ijin pada atasannya memperpanjang cutinya menjadi dua hari. Dia memutuskan tidak kembali ke Jakarta supaya bisa menuntaskan rindu kami. Setelah kami betul-betul menikmati indahnya senja waduk cengklik, kemudian kami juga bisa menikmati sahdunya tengah malam waduk cengklik dan cantiknya di keesokan harinya. Sehari setelah itu atasannya menelponnya dan mengatakan bahwa Dirjen mengetahui kepergiannya yang tidak sesuai prosedur itu lalu memutuskan untuk memPHKnya. Sebetulnya atasannya sudah mencoba menolong Alma dengan berusaha memberi penjelasan pada Dirjen, tapi ternyata tidak berpengaruh sedikitpun. Belum kembali ke Jakarta untuk mengambil barang-barang pribadinya, namun Alma sekarang sudah mendapatkan pekerjaan baru.
“Begini mas, secara umum obituari adalah kabar kematian seseorang yang diiklankan, dimuat di surat kabar. Nantinya yang ingin menjadi titik fokus dalam obituari di surat kabar saya adalah pengalaman hidup orang yang meninggal itu mas. Jadi tidak harus orang yang sudah terkenal atau popular, tapi dia mempunyai peran atau kontribusi lebih di bidang apapun. Orang biasa tapi dia mempunyai kesetiaan atau intensitas tinggi di bidangnya entah pendidikan, kesenian, kuliner, atau apapun pasti ada sesuatu yang bisa dibagi pada masyarakat itu juga bisa ditulis. Atau paling tidak ada pengalaman unik semasa hidupnya. Nah saya minta tolong pada mas untuk membantu saya menulis obituari itu. Kalau bisa kalau mas longgar bantu saya juga di proses peliputannya.”
Alis mata saya naik, saya berpikir sebentar lalu ingatan saya tertuju pada seseorang yang saya kenal baik. Kebetulan ayahnya baru meninggal sekitar sepertiga bulan yang lalu.
“Kamu masih ingat sama mas tukang cincau depan kampus saya?”
“Ya masih dong mas. Mas Setyo to? Kenapa?”
“Ayahnya meninggal sekitar sepertiga bulan yang lalu. Dia pernah mengajak saya ke rumah ayahnya. Nama ayahnya Pak Sungkono. Setelah itu beberapa kali saya main ke rumah Pak Sungkono sendirian. Karena ternyata Pak Sungkono di usia mudanya pernah ikut grup kethoprak keliling. Selain itu Pak Sungkono juga suka bermain catur seperti saya. Dari bermain catur itulah Pak Sungkono sering bercerita pengalaman hidupnya. Ada satu pengalaman yang lucu dan unik dari Pak Sungkono. Pak Sungkono ini bekerja sebagai tukang jahit keliling dengan mengendarai motor. Motor itu dibelikan oleh mas Setyo. Motornya motor bodong, tidak ada surat-surat resminya. Namun selama bertahun-tahun Pak Sungkono tidak pernah ditilang oleh polisi. Sampai pada suatu ketika dia ditilang oleh polisi. Padahal pada saat itu dia tidak memegang uang sepeserpun. Bahkan besoknya dia harus membayar uang listrik yang sudah nunggak 3 bulan dan arisan RT yang nunggak 4 bulan. Pak Sungkono ini orangnya polos. Karena bingung dia menceritakan keadaannya pada polisi lalu malah menawarkan motornya supaya pak polisi mau membelinya. Polisi itu tidak percaya dengan cerita Pak Sungkono. Karena tempat tilang tidak jauh dari rumah Pak Sungkono lalu Pak Sungkono mengajak polisi itu ke rumahnya. Anehnya polisi itu mau saja. Sampai di rumahnya baru saja polisi itu akan duduk, datanglah tetangga Pak Sungkono yang rupanya Pak RT mengingatkan bahwa Pak Sungkono besok harus segera melunasi uang listrik dan arisan. Polisi itu jadi trenyuh dengan keadaan Pak Sungkono. Akhirnya sebelum pamit polisi itu memberikan uang sejumlah uang listrik dan arisan pada Pak Sungkono. Bahkan selanjutnya setiap sebulan sekali polisi itu datang ke rumah Pak Sungkono. Seringnya polisi itu membawa beras atau bahan makanan.”
“Wah itu pengalaman hidup yang menarik mas. Kira-kira kapan kita bisa ke rumah Pak Sungkono mas?”
“Kalau kamu mau sekarangpun bisa.”
“Ok mas. Ayo berangkat.”
Lalu kami meluncur mengendarai motor menuju rumah Pak Sungkono. Di rumah Pak Sungkono kami bertemu dengan istrinya. Lalu Alma menjelaskan maksud kedatangannya dan memulai wawancara. Istri Pak Sungkono bernama Bu Sulastri. Bu Sulastri menceritakan banyak pengalaman hidup Pak Sungkono. Sampai kemudian Bu Sulastri menangis ketika menceritakan satu cerita;
“Sejak Setyo masih kecil sampai bapak tidak ada, kami sering bertengkar. Penyebab pertengkaran seringnya hal-hal sepele dan seringkali karena sifat saya yang keras dan egois. Baru dua minggu kami berbaikan lalu saya memulai pertengkaran lagi. Kemudian kami tidak bertegur sapa sampai sekitar sebulan. Lalu berbaikan lagi dan seringnya bapaklah yang memulai untuk berbaikan. Saya gengsi, saya tidak pernah yang memulai berbaikan. Sampai pada pertengkaran yang terakhir, saya pengin betul untuk memulai mengajak berbaikan terlebih dahulu. Belum saya ....... bapak sudah tidak ada.”
Tangisan Bu Sulastri semakin kencang. Kami bertiga diam cukup lama, lalu Alma mendekati Bu Sulastri dan memeluknya. Masih dengan memeluk Bu Sulastri, Alma menatap saya. Mata kami berkaca-kaca. Kami saling menatap lama, lama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar