Minggu, 24 Januari 2016

Segregasi #13

Kunci kamar kost saya hanya ada satu. Kunci itu tidak pernah saya bawa. Setelah mengunci pintu, kunci selalu saya taruh di wadah yang berada di jendela sebelah pintu utama kost saya. Alma mengetahui keberadaan kunci tersebut, kapanpun dia bisa masuk ke kamar saya meski tanpa saya.
Kemarin, setelah acara pembekalan KKN di kampus selesai rasanya pengen banget segera pulang ke kost. Setelah sampai di depan pintu kamar saya, saya terkejut dengan sebuah kertas yang tertempel di depan pintu kamar saya. Tulisan kertas itu terasa menyodok mata saya sehingga membuat kantuk dan rasa capek saya lenyap begitu saja. Kertas itu bertuliskan;
"Kang Dok, gendhuk kangen banget".
Saya tersenyum dan berkata dalam hati;
“Saya juga kangen banget padamu ndhuk”.
Selama menjalin hubungan dengan Alma hanya beberapa kali saja dia memanggil saya kang dok dan menyebut dirinya sendiri gendhuk. Itu artinya dia memang betul-betul kangen berat sama saya, dan artinya lagi saya tidak boleh protes dan harus segera menemuinya. Kemudian saya menarik kertas yang ternyata ditempel dengan solasi hanya di bagian tengah atas saja. Kemudian saya masuk kamar saya. Betapa terkejutnya saya karena ada 8 lembar kertas tertempel di dinding dalam kamar saya dengan tulisan yang sama dengan yang tertempel di pintu. Lebih kaget lagi ada selembar kertas lagi dengan ukuran lebih besar bertuliskan;
"Kang Dok, kamu tahu bahwa cintaku padamu tak bisa padam kan?".
Saya tersenyum lebih lebar lalu berkata dalam hati;
“Cinta saya juga tidak mungkin bisa padam. Tenang ndhuk, kang dok akan segera menemuimu, tunggu sebentar, kang dok akan segera meluncur”.
Tanpa berpikir panjang saya memutuskan untuk menunda mandi kemudian hanya ganti baju saja dan setelahnya segera menuju kost Alma. Ketika saya membuka pintu almari baju saya, untuk kesekian kali saya harus merasakan kaget yang jarang saya rasakan. Di dalam lemari saya tertempel kertas bertuliskan;
“Kang Dok sepertinya sudah lupa jalan menuju rumah ya?”
Saya baru menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan Alma. Ada sesuatu yang terjadi padanya. Tapi saya tidak tahu sebabnya apa. Tiba-tiba saya merasa tubuh saya lemas sekali. Segera saya meluncur ke kost Alma. Di depan kost Alma sudah ada Sekar yang ternyata sedang mencari Alma juga. Sekar ini adalah teman dekat Alma yang akan kuliah juga ke Amerika.
“Alma di mana kar?”
“Sepertinya gak ada mas, sudah saya panggil dari tadi gak ada jawaban. Mas juga gak tau to? Wah gimana nih mas? Padahal besok pagi jam 8 batas paling lambat penyerahan berkas-berkas beasiswa kuliah di Amerika”.
Saya benar-benar pusing dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Coba kamu hubungi teman-temannya kar. Siapa tahu dia ke rumah teman-temannya. Kalau tidak ada telpon orang tuanya, siapa tahu juga sedang pulang ke rumah”.
Semua teman-teman Alma telah ditelpon Sekar. Tapi tak satupun yang tahu keberadaan Alma. Saya merasa semakin pusing dan lemas. Alma cemburu, ya sangat cemburu pada Nona Cahaya. Apa yang sedang Alma lakukan saat ini adalah ingin berdamai dengan hatinya sendiri, untuk bisa memahami keadaan. Dia ingin melepas saya, tidak seperti yang dia ikrarkan beberapa hari lalu bahwa dia akan merebut saya dari perempuan manapun yang saya cintai dan mencintai saya. Saya sangat merasa bersalah, karena sebetulnya saya tidak lupa jalan menuju rumah. Tidak, tidak lupa. Justru lebih buruk dari itu! Saya melupakan rumahnya! Saya melihat rumah yang lain, saya telah jatuh hati pada rumah yang lain. Tapi ketahuilah ndhuk, rumah itu tidak membukakan pintu itu untuk saya. Pintu itu sudah diperuntukkan pada pria lain.
Sekar menyerahkan ponselnya pada saya. Dia menyuruh saya saja yang berbicara dengan orangtua Alma. Belum saya memencet nomor ponsel ibu Alma, justru ibu Alma yang sudah menelpon Sekar. Saya kembalikan ponsel pada Sekar. Sekar berbicara dengan ibu Alma beberapa kalimat lalu menyerahkan ponselnya pada saya.
“Mas Yudi, tolong bilang pada Alma untuk segera menggunakan hpnya lagi ya. Ibu benar-benar minta tolong. Seharian ini tadi perasaan ibu tidak enak. Ibu merasa sepertinya sedang terjadi sesuatu pada Alma. Kalau Alma tidak menggunakan hp, bagaimana ibu tidak merasa was-was sepanjang waktu? Mas Yudi juga tolong pakai hp lagi ya. Wah kalian itu benar-benar aneh kok, sama-sama tidak mau menggunakan teknologi dengan alasan yang tidak rasional”.
“Iya bu. Nanti coba saya ngobrol dulu dengan Alma. Ibu tidak usah khawatir, Alma baik-baik saja kok. Saat ini Alma sedang sibuk mengurusi berkas kuliah di Amerika”.
Sekar dan saya sama-sama bohong mengenai apa yang terjadi pada Alma. Kemudian Sekar pamit pada saya untuk pergi ke kantor lembaga yang memberikan Sekar dan Alma beasiswa kuliah di Amerika. Siapa tahu ada di sana kata Sekar.
Saya merasa hancur. Saya baru sadar telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup saya. Dengan tubuh lemas saya menuju tempat-tempat yang saya pernah datangi bersama Alma. Semua tempat sudah saya datangi, tapi Alma tidak berada di situ. Sebetulnya masih ada dua tempat yang belum saya datangi. Tempat pertama adalah rumah Bu Sulastri, istri dari almarhum Pak Sungkono yang mana obituarinya saya dan Alma yang menulisnya. Tempat kedua adalah rumah orangtua saya. Tapi saya merasa kedua tempat tersebut mustahil Alma berada. Karena logikanya dengan situasi dan masalah yang alma alami, lebih pas kalau Alma pulang ke rumahnya sendiri.
Tapi toh akhirnya saya menuju rumah Bu Sulastri juga. Ketika saya tiba, Bu Sulastri sudah berada di teras rumah menyambut saya. Kemudian kami masuk ke ruang tamu. Saya kaget karena di atas meja sudah ada segelas teh hangat.
“Minum dulu tehnya mas dok”.
Saya menyeruput teh buatan Bu Sulastri. Hangatnya teh cukup membantu mengurangi rasa pusing dan lemas tubuh saya.
“Lho saya baru datang kok Bu Sulastri sudah buat teh to?”
“Saya kan tahu kalau mas dok mau ke sini”.
“Kok bisa tahu Bu?”
“Tadi Alma ke sini mas. Dia menitipkan surat ini untuk mas dok.”
Saya tersenyum bahagia. Saya merasa lega. Seketika pusing dan lemas yang saya rasakan dari tadi lenyap begitu saja. Kemudian saya baca surat dari Alma,
“Nona Cahaya memang luar biasa mas. Tadi pagi sampai siang saya memelototi apa yang dia kerjakan. Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin tahu apa yang membuat mas jatuh hati padanya. Mungkin sebentar lagi mas akan jatuh cinta padanya. Sangat mungkin juga dia akan jatuh cinta juga pada mas. Meskipun dia sudah saling jatuh cinta dengan pria lain, saya yakin mas bisa merebut dia dari pria lain itu. Nona cahaya adalah petualang yang pemberani. Dia adalah petualang yang mengikuti panggilan petualangan. Dia memiliki minat besar pada dunia, manusia, dan alam semesta yang indah ini. Dia tidak pernah berhenti mendengar panggilan yang mendorongnya untuk menjalani petualangan lain. Dia tidak pernah takut, dia tidak pernah melihat ke belakang, karena itulah yang membuatnya merasa bebas. Dia benar-benar perempuan idamanmu mas. Sekarang saya sadar, saya bukan siapa-siapa! Saya bukan apa-apa!”
Selesai saya membaca surat dari Alma, ponsel Bu Sulastri berdering. Bu Sulastri memberikan ponselnya pada saya. Ternyata yang menelepon adalah ibu saya,
“Kamu sama Alma sedang bertengkar soal apa? Segera pulang ya! Kamu itu aneh, harusnya kamu yang lebih paham padanya. Kok ini malah ibu yang harus mengurusi. Tapi tidak apa-apa le, nanti saya ajak ngobrol dia. Tapi ya itu, segera cepat pulang ke rumah!”
“Ya Bu. Maafkan saya.”
Saya tertawa bahagia dalam hati di depan Bu Sulastri. Bu Sulastri senyum-senyum sendiri. Terbayang wajah ibu saya, terbayang wajah Alma juga, kemudian saya berkata dalam hati,
“Tidak Alma, saya tidak pernah lupa jalan menuju rumah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar