Minggu, 24 Januari 2016

Segregasi #12

Saya benar-benar jatuh hati dengan perempuan ini. Namanya Nona Cahaya. Pertama kali bertemu dan berkenalan saya malah cenderung cuek padanya. Sampai bulan ketiga belum sekalipun kami ngobrol, padahal intensitas bertemu kami cukup tinggi. Pada bulan keempat secara alami tiba-tiba saya jadi sangat perhatian padanya, tanpa ada sebab dan motivasi apapun. Hal teraneh yang pernah saya alami. Pada bulan selanjutnya kami mulai mengobrol. Kami saling berbagi buah pikiran kami. Pikiran-pikiran Nona Cahaya mirip sekali dengan Alma. Sudut pandang berpikir mereka sepertinya menggunakan lensa yang sama, namun secara sosiologis dan fisiologis mereka berdua berbeda jauh. Yang lucu adalah Alma dan Nona Cahaya pernah bertemu, berkenalan, dan ngobrol. Namun keduanya lupa kejadian tersebut karena jarak pertemuan berikutnya sangat lama. Dari cuma beberapa kali saya ngobrol dengan Nona Cahaya itulah saya jatuh hati padanya.
Ketika bertemu Alma saya ceritakan hal ini padanya, yang seminggu lagi akan berangkat ke Amerika untuk kuliah S2. Alma mempunyai pemahaman jatuh hati sama jatuh cinta itu berbeda. Jatuh hati belum tentu jatuh cinta. Kalau jatuh cinta sudah tentu jatuh hatinya juga. Jatuh cinta itu lebih rumit.
"Mas, kita putus!"
"Hah?!"
"Kita putus!"
"Lhoh?"
"Putus saja!"
"?#%?"
"Bagaimana mas?"
Aneh. Alma sungguh begitu yakin minta putus. Namun masih bertanya pendapat saya. Saya tidak menjawab. Bahkan selama setengah jam berikutnya kami hanya diam. Sesekali mata kami bertemu saling menatap namun segera kami sama-sama mengalihkan ke sudut lain, sudut yang lebih jauh. Kami sibuk dengan pikiran-pikiran kami sendiri.
"Kamu yakin?" saya memecah kebekuan di antara kami.
"Hah?”
“Kamu yakin tidak?”
“Lhoh?”
“Kamu terlihat tidak yakin!”
"?#%?"
“Sudah kamu pikirkan masak-masak?”
Alma tidak menjawab, malah senyum-senyum sendiri. Melihat cara senyumnya seolah-olah dia sudah menemukan pangkal untuk menambah keyakinan mengajak putus dengan saya. Senyumnya adalah jawaban yang jelas buat saya. Senyum itu senyum optimis, bukan senyum kesedihan, bukan senyum pesimis, apalagi apatis. Saya kemudian menjadi paham dengan maksud Alma mengajak putus.
“Secara teknis jelas aneh kan mas? Minggu depan saya berangkat ke Amerika. Saya akan di sana selama 2 tahun. Sementara mas di Solo pasti sibuk dengan Nona Cahaya. Selain itu kita berdua sama-sama tidak menggunakan teknologi komunikasi. Mas aja yang kecolongan sekarang aktif lagi facebook dan emailnya.”
“Heh itu bukan kecolongan. Saya benar-benar jatuh hati padanya. Secara teknis tidak ada hal yang bisa membuat saya terhubung dengannya selain aktif di facebook. Toh facebook akan selalu aktif agar kisah kita tetap hidup. Karena kisah kita lebih hidup ketika saya tulis di status facebook saya. Sekarang dia sudah jatuh cinta pada laki-laki lain, sebaliknya laki-laki lain itu juga jatuh cinta padanya. Sepertinya kemungkinan saya jatuh cinta padanya sangat kecil ma.”
“Meskipun kecil ya tetap saja masih ada mas!”
“Kalau itu terjadi?”
Alma diam selama hampir lima menit.
“Kalau itu terjadi, itu tidak berarti apa-apa buat saya mas. Tapi kalau mas memutuskan menikah dengannya, mohon beritahu saya. Jadi saya akan mengaktifkan email saya lagi. Akan saya buka rutin sekali dalam seminggu seperti mas juga.”
“Kalau saya memutuskan untuk menikah dengan Nona Cahaya selama kamu masih di Amerika dan mengabari kamu, lalu apa yang akan kamu lakukan ma?”
“Saya akan pulang untuk merebut kamu darinya mas! Dan ada satu kemungkinan lagi mas, yaitu kalau saya menemukan pria di Amerika dan kami sama-sama jatuh cinta lalu memutuskan untuk menikah, apa yang akan mas lakukan?”
“Selama 40 hari saya akan mendoakan kalian semoga selalu bahagia ma!”
Tiba-tiba suasana terasa menjadi begitu sunyi. Kami mengobrol di sebuah pendapa. Pendapa Taman Budaya tepatnya. Tiba-tiba terbersit pertanyaan aneh. Kenapa ya tempat ini disebut Taman Budaya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar