Jumat, 21 November 2014

Segregasi #2

Menjelang sore dengan cuaca masih panas saya nongkrong di depan kampus saya. Sebetulnya karena ada janji sama teman. Tapi mendadak teman saya menghubungi tidak bisa datang. Karena cuaca masih panas saya putuskan untuk tetap nongkrong di situ. Sekitar 3 meter dari tempat saya nongkrong ada penjual es cincau. Es cincaunya enak dan segar. Kemudian saya ingin pesan satu gelas. Belum mulut saya bersuara datang seorang gadis dengan riangnya mendahului saya memesan, setelah sebelumnya ia standarkan motornya. Saya kembali duduk, namun sekarang hanya berjarak sekitar 1 meter saja dari gerobak es cincau. Kemudian tiba-tiba;
"Mas, nongkrong panas-panas begini kok betah to? Memangnya gak haus? Es Cincaunya seger banget lho! Mau mas?
Cerocos gadis itu. Saya melongo.
"Ehmmm ..... "
"Mas, es cincaunya satu lagi ya. Buat masnya ini." belum selesai saya menjawab dia sudah memesan es cincau untuk saya. Untuk menutupi kekagetan, saya bertanya padanya,
"Biasa beli es cincau di sini ya mbak?"
"Ya mas. Lebih tepatnya pilihan. Saya dari kampus sebelah mas. Ada juga penjual es cincau, tapi entah kenapa saya suka beli di sini. Mas biasa nongkrong di sini?"
"Ya mbak. Saya kan mahasiswa sini." saya menjawab.
"Oh, ambil S2 ya mas?"
"Gak. S1". lalu dia tertawa cukup keras.
"Yang bener mas?"
"Kenapa? Mengira saya bohong? ketuaan ya?".
"Bukan begitu mas. Iya sih, emang terlihat tua ...."
"Nah, iya kan .... " saya memotong.
"Tapi masak masih kuliah S1 sih masnya. Ah, sudahlah mas. Gak penting itu ma. Jadi, nongkrong di sini hobi dong mas?"
"Nongkrong adalah senang-senang. Barangkali buat orang lain eksistensi, kontemplasi, melankoli, atau nostalgia. Buat saya nongkrong adalah pembebasan".
"Uwih. Kata-kata mas ngeri. Berarti suka berlama-lama nongrong ya?".
"Tergantung suasana. Kalau senang ya senang dan lama. Kalau sedih buat hiburan dan bisa lebih lama".
"Suka nongkrong sambil nyanyi gak mas?".
"Ya itu tadi. Tergantung suasana".
"Bisa diperagain mas?".
"Jangan ah mbak. Saya malu".
"Mas tidak sedang melarikan diri dari realita bukan?"
"Wah, mba seperti psikolog saja".
"Saya belum psikolog mas, tapi saya mahasiswi jurusan psikologi. Maksud saya, mas tidak sedang tersesat to?".
"Oh. Saya memang tersesat saat ini. Saya tersesat dalam kesenduan mata mbak".
"Ah, gombal mas. Ok mas saya balik dulu ya. Nice to meet you".
"O ya mbak. Terima kasih".
Mata kami sempat beradu seperti ada harapan dan kesepakatan bahwa tidak perlu bertukar no hp bisa bertemu kembali.
Selepas gadis itu pergi tiba-tiba penjual cincau nyeletuk,
"Gek jenenge kuwi mau sapa mas?".
Rupanya penjual es cincau ini cukup menyimak kalau kami belum bertukar nama.
"Ayu ya mas mbake ki mau?". katanya lagi.
"Ehmm .... pas banget mas". jawabku.
Kemudian kami sama-sama tertawa cukup keras. Entah sama atau tidak yang ada di benak kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar