"Buahahahahahahahahahahahahahahahaha"
Alma ngakak keras sekali. Dia memutuskan kembali ke tanah air. Pertama, dia tidak menemukan apa yang dia cari di Amerika. Kedua, dia menangkap ada yang tidak beres dari pemberian beasiswa yang dia terima. Ketiga, yang semakin menambah keyakinannya untuk pulang adalah ketika saya kabari kalau ibu saya sedang jatuh sakit.
Tadi malam selepas mengantar teman saya berobat di rumah sakit karena kecelakaan saya jemput dia di stasiun. Dia memilih naik kereta setiba di Jakarta. Saya tidak bertanya kabarnya terlebih dahulu, tapi langsung bercerita soal Nona Cahaya.
"Jadi cuma kepedean nih ceritanya?" tanya Alma sambil senyam-senyum.
Saya tidak menjawab. Saya pasang wajah sok cool meski tetap terlihat bodoh seperti biasanya kalau sedang berada dihadapannya. Lagi-lagi dia ngakak, bahkan lebih panjang dan keras.
"Jadi betul seperti kataku sejak dulu pada Mas kalau Nona Cahaya itu sudah punya tambatan hati? Dia mau dekat dengan Mas ternyata cuma karena ngefans Mas saja? Kok gak percaya aku dari dulu sih Mas? Pintar juga dia ya. Tapi aneh, Mas gak pinter-pinter amat kan berteaternya? Jadi aktor biasa saja, jadi sutradara juga biasa saja, apa sih yang diharapkannya? Ah, saya malah "kepace" lho ini mas!"
"Kepace gimana?"
"Mas, aku memutuskan balik selain yang sudah saya ceritakan di email, sebetulnya aku sudah gak kuat mikirin Mas dengan Nona Cahaya!"
"TLK BBK! Ngapusi! Lamis!" jawab saya.
Saya tatap mata Alma dengan serius. Dia tidak tahan lalu mulai senyum disusul ngakak yang membuat orang-orang disekitar kami memandangi kami cukup lama. Saya pura-pura tidak tahu menjadi fokus orang-orang itu, lalu ngeloyor saja meninggalkan Alma. Alma menyusul saya masih dengan sisa-sisa ngakaknya.
Sampai di kost ngakak Alma masih berlanjut. 5 menit ngakak 1 menit diam, begitu terus sampai pagi. Dari pagi sampai siang saya harus menanggung efek ngakaknya. Selama kurang lebih 5 jam saya harus mengompres mulut dan dagunya. Persediaan obat lambung saya pun habis dimakannya.
Siangnya kami makan di warung langganan saya. Warung berada di pojok pertigaan belakang kampus. Di depan warung, pojok sebrangnya ada counter pulsa. Di samping kiri counter ada toko kelontong yang juga menjual sayur-sayuran. Selesai makan saya membeli pulsa terlebih dahulu. Saat saya sedang bertransaksi tiba-tiba Alma menepuk keras bahu saya. Dia berteriak,
“Mas, ada orang selingkuh!”
“Siapa? Selingkuh gimana?”
Dia menunjuk seseorang yang berada di toko kelontong. Astaga, ternyata Nona Cahaya sedang berbelanja bersama pria tambatan hatinya. Setelah sekitar 2 jam reda ngakaknya, Alma kembali ngakak. Saya dan Alma memperhatikan dengan seksama bagaimana mereka berdua terlihat mesra sekali, entah apa yang mereka bicarakan. Meskipun hanya berjarak sekitar 7 meter saya dan Alma tidak menangkap pembicaraan mereka dan ternyata Nona Cahaya tidak “nggagas” keberadaan kami. Alma masih saja ngakak. Saat Nona Cahaya naik motor lalu menata barang belanjanya di antara dia dan pria tambatan hatinya dia sempat menoleh ke arah kami. Saya segera melengos pura-pura tidak tahu.
“Dia lihat kamu gak?” Tanya saya pada Alma.
“Lihat Mas, lihat kamu juga kok.” Jawab Alma.
“Kok gak ke sini ya?” jawab saya lagi.
“Ehm, galagasi, padune! Emang cuek dienakin?!” Alma ngakak semakin keras tak terbendung.
“No Coment!” jawab saya dengan tegas.
“Yakin?!” kata Alma tak kalah tegas.
“No Coment!” saya ulang pernyataan saya lebih ekspresif.
“Yakin tidak?!” Tanya Alma sambil melotot lebih ekspresif dari saya.
Saya cengar-cengir. Saya tidak bisa pura-pura di hadapan Alma kalau saya tidak sakit hati dan atau cemburu melihat Nona Cahaya begitu mesra dengan pria tambatan hatinya.
“Sakitnya tuh di sini!” jawab saya sambil menepuk hati saya.
Alma ngakak, kali ini terdengar miris buat saya.
“Sudahlah Mas. Saya kurang apa sih buat Mas?”
“Gak ada kurangnya, Ma. Nanti malam paling sudah sembuh. Pulang yuk.”
Malamnya saya tinggal Alma. Saya harus mengikuti kegiatan pengakraban mahasiswa baru di kampus. Setiba di kampus sampai saya tulis cerita ini tadi, Alma sudah sms saya sebanyak 20 kali. Isi smsnya sama, “Mas, masih ngakak juga nih.”
Tidak semua smsnya saya jawab. Hanya yang pertama saya jawab “No Coment.”, lalu yang ke-11 saya jawab “Sudah Ma, saya sudah sembuh.”, dan yang ke-20 atau sms terakhirnya saya jawab dengan huruf kapital “I LOVE YOU FOREVER”.
Setengah jam kemudian dia sms “Mas, sampai pagi baru mau pulang kost boleh.”. Ketika tadi saya pamit untuk berangkat ke kampus dia melarang saya pulang telat, tidak boleh lebih dari jam 1. Saya jawab smsnya “Nanti saya pulang jam 3, nanti saya bawakan lontong sate ayam Madura sama susu jahe, jangan tidur dulu. Saya ingin mendengar ceritamu tentang Amerika. Miss you Ma.”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar